Lika-Liku Sopir Truk Antar Pulau

Embel-embel punya banyak istri, erat dengan prostitusi, hingga penyebar AIDS membuat profesi sopir truk dipandang miring. Polisi pun menjadikan mereka bulan-bulanan pungli di sepanjang jalan. Padahal tanpa jasa mereka, roda perekonomian antar pulau tak mungkin digerakkan.
Labuan Bajo amat ramai senja itu. Puluhan perahu nelayan memenuhi pelabuhan laut di ujung barat Pulau Flores itu. Sebuah kapal feri bersandar tak jauh dari situ. Ragu melihat lengangnya loket pembelian tiket, saya mendekati petugas. “Ada feri ke Sape hari ini nggak Pak?” tanya saya. “Oo ada, nanti jam 7 malam berangkat,” jawabnya singkat. Tanpa berpikir panjang saya segera membeli tiket, lalu bersiap-siap keluar dari penginapan yang baru saya pesan beberapa jam lalu. Tak apa, saya harus berpacu dengan waktu untuk menuntaskan perjalanan yang melelahkan ini.
Hanya sekilas petugas pelabuhan melirik tiket saya, lalu membiarkan saya berjalan menuju feri. Setelah melalui deretan lelaki yang duduk di pagar besi pembatas laut dan dermaga, belasan truk-truk raksasa, dan beberapa anak penjaja mutiara, saya masuk ke feri. Feri nampak longgar. Rupanya tak banyak penumpang yang naik. Ombak memang sedang tinggi-tingginya. Tapi bagian dasar kapal hampir penuh oleh truk dan mobil.

Malam itu saya berkenalan dengan Stephen dan Karel. Yang satu kernet truk Kawi Indah, yang lainnya mantan pemburu paus di kepulauan Alor dan Solor. Karel asyik mengisahkan petualangannya berburu paus hingga tertangkap polisi perairan Australia, sedang Stephen yang bersarung motif Maumere cuma jadi pendengar. Feri sampai di Sape jam 3 pagi. Step menawari saya menumpang truknya sampai ke Bima. Saya menerimanya daripada kedinginan menunggu bus Sape-Bima yang baru tiba jam 7 pagi. Walau tampak pendiam, Pak Tua, panggilan akrab sopir Kawi Indah, amat ramah dan baik hati. Dia tak hanya mengantar saya sampai ke Bima, tapi hingga ke perbatasan Lombok Tengah dan Timur. Andai tak ada keperluan di Praya, saya bisa ikut mereka ke Surabaya, pulang ke rumah orangtua.
Jarang berkumpul keluarga
Truk Pak Tua melaju di jalan yang lengang. Selain kami, ternyata masih ada 4 truk lagi di belakang. Konvoi truk ini membelah pagi yang dingin, berjalan beriring. Baru 2 jam perjalanan, sebuah truk menyalip sambil menyalakan klakson, mengajak Pak Tua berhenti. “Ada apa?” tanya Pak Tua. “Truk si Poti bannya meletus,” teriak sopir truk sebelah. Setelah menghentikan truk, semua awak turun. Sebagian membantu temannya yang terkena musibah, sebagian lagi istirahat dan asyik mengobrol di pinggir jalan.
Rupanya ban meletus menjadi makanan kami sepanjang jalan. Dari truk yang satu ke truk lain, dari ban depan ke ban belakang. Tak kurang 2-3 kali ban sebuah truk meletus dalam semalam. Maklum, perjalanan memang panjang, puluhan ribu kilometer. Medan jalan pun berat, berliku, berbatu, rusak, atau aspal berpasir. Belum lagi beratnya beban yang dibawa, hingga 5-10 ton. Pantas kalau ban-ban truk ini cepat gundul. Truk-truk ini mengangkut hasil bumi dari flores seperti kopi, cengkeh, coklat, pisang, dan vanili. Tujuannya beragam. Ada yang ke Denpasar, Surabaya, dan Jakarta. Seperti Pak Tua yang mengangkut coklat menuju Surabaya.
“Sudah puluhan tahun saya jadi sopir truk antar pulau,” kisah Pak Tua membuka percakapan. Saking asyik dengan pekerjaannya, lelaki asal Maumere ini pernah tak sempat pulang ke rumah. “Waktu itu saya baru pulang dari Surabaya mengantar vanili. Begitu sampai di kantor, buru-buru bos menugaskan saya untuk membawa cengkeh ke Surabaya. Terpaksa saya pergi tanpa sempat pulang ke rumah. Untung istri saya tak marah,” tutur lelaki yang bekerja di jasa pengangkutan Kawi Indah ini.
Meskipun jarang bertemu keluarga, Pak Tua senang menjadi sopir truk. “Karena saya bisa membesarkan keempat anak saya, menikahkan mereka. Sekarang cucu saya banyak,” katanya. Jauh dari keluarga juga tak membuat Pak Tua melirik perempuan lain. ‘Kawin adat flores itu susahnya minta ampun, harus sediakan babi dan kuda untuk mahar. Masak istri semahal itu saya sia-siakan,” alasannya, yang diiyakan sesama awak truk.
Upah sopir truk seperti Pak Tua cukup besar. Sekali angkut barang ke Surabaya, dia dibekali uang jalan Rp 5-8 juta. Sebagian untuk pengeluaran seperti solar, tiket ferry, makan., dan dana darurat kalau-kalau ada kerusakan truk yang tak bisa diatasi sopir. Sisanya buat ongkos sopir truk dan kernet. Sayangnya uang jalan kerap terpangkas untuk membayar pungli petugas dan pak polisi. Pak Tua dan kernetnya masih menerima upah bulanan dari bos. “Yah.. pokoknya cukup untuk makan,” katanya tanpa mau menyebut jumlahnya.
Dipermainkan petugas
Pagi itu kami beristirahat di sebuah warung kecil pinggir jalan, beberapa km di luar kota Bima. Sarapan pagi itu cukup dengan kopi, indomie, dan roti kampung. Para awak nampak guyup dan akrab, saling bersenda gurau. Seperti saudara saja. Botol moke -semacam arak- dibagikan. “Untuk menambah tenaga,” kata Pak Tua. Beberapa awak truk memesan nasi ayam. “Perut saya tak kuat cuma diisi indomie,” kata Joni, sopir truk Alam Indah yang masih muda dan bujangan. Joni mengangkut dua penumpang lelaki dengan tujuan Banyuwangi. “Untuk teman ngobrol di jalan, agar nggak ngantuk,” alasannya.
Selesai sarapan, dua polisi bermotor menghampiri. Mereka tampak berdebat dengan Joni dan teman-temannya. “Biasa, pungli,” kata Pak Tua. Entah apa kesalahan mereka, dua polisi menarik sebuah truk Rp 50.000. Ongkos parkir pinggir jalan, alasan polisi. “Ini baru di Sumbawa. Nanti di Lombok, Bali, Jawa, kami mesti bayar lagi. Macam-macamlah alasannya. Terutama di daerah antara Banyuwangi-Jember, pungutannya luar biasa,” protes Joni dengan wajah tak puas.
Takut menjadi korban pungli berikutnya, kami segera melanjutkan perjalanan. Sekilas saya lihat bagian luar truk Pak Tua yang dipenuhi lukisan pemandangan alam. Gunung, pohon, dan gajah. “Bos saya mengecat semua truknya dengan pemandangan seperti ini. Biar gampang dikenali,” alasan Pak Tua. Sementara truk temannya dari jasa pengangkut Alam Indah dan Sinar dihiasi dengan gambar seronok plus tulisan ‘kenapa lihat-lihat’. Ada-ada saja.
Dibanding jalan-jalan di Flores yang rusak, berbatu dan penuh tikungan, jalan raya di Sumbawa beraspal halus dan lebar. Pak Tua pun menambah kecepatan. Kami melalui kebun-kebun pisang yang meranggas dimakan hama. Melihat saya terkantuk-kantuk, Step menyuruh saya tidur di ruang belakang, tepat di belakang tempat duduk sopir. Di sana memang ada ruang untuk berbaring, cukup empuk dan hangat. Tapi sulit bagi saya memejamkan mata.
Lagi-lagi kami dihadang pungli seusai menyebrangi selat Sumbawa menuju Lombok timur tengah malam. Kali ini oleh petugas jembatan penimbangan selepas dermaga Labuhan. Semua truk pengangkut beban dikenakan UU karantina dan harus membayar Rp 100 per kg beban yang dibawa. Hampir satu jam para sopir dan awak berdebat dengan petugas, karena mereka merasa barang yang dibawa bukan untuk diekspor sehingga tak perlu dikarantina. “Kita harus kompak melawan petugas yang sewenang-wenang. Ah.. negeri ini benar-benar korup,” teriak Joni seusai keluar dari kantor petugas, marah. Meski akhirnya diperbolehkan meneruskan perjalanan kembali, mereka harus mengeluarkan uang damai yang tak sedikit jumlahnya.
Tak Selalu Negatif
Semula saya ragu menumpang truk. Ingat cerita-cerita seram seorang teman yang melakukan survey truk jalur pantura Jawa. Katanya, sopir truk menjadi pelanggan setia pekerja seks, dan penular aktif penyakit kelamin dan HIV-AIDS. Mereka juga tak tahan melihat perempuan. Tapi yang saya hadapi kali ini sungguh berbeda. Mereka amat ramah, senang bercanda, sopan, dan murah hati. Pak Tua misalnya berkali-kali memberi tumpangan kepada perempuan dan anak-anak sepanjang perjalanan menuju Sumbawa. “Kasihan, kalau tunggu bus bisa lama,” katanya.
Sepintas saya lihat untaian rosario menjuntai di atas kaca setirnya. “Agar saya selalu ingat kepada Tuhan, dimana pun saya berada,” tambahnya. Apalagi, katanya, menjadi sopir truk bukan pekerjaan mudah. Berhari-hari duduk di belakang setir, membuat orang cepat bosan dan lelah. Sedikit saja kehilangan konsentrasi, bisa berakibat fatal. Karena itu sopir truk senang memberi tumpangan. Apalagi kalau yang diberi tumpangan senang bercerita.
Ketika kami beristirahat di sebuah rumah makan di Sumbawa Besar, para awak truk mempersilakan saya mandi duluan. Dan ketika tiba waktu makan malam, mereka berlomba-lomba menraktir saya makan. Ah.. malu rasanya diperlakukan ‘ladies first’ seperti itu. Namun mereka menolak untuk diambil fotonya. Malu, alasannya.
Malam itu, seusai pungli UU karantina, para awak truk nampak lesu. Pak Tua yang biasanya banyak senyum jadi berwajah muram dan serius. Dalam keremangan malam saya melihat gunungan muatan di truk depan dan belakang. “Apa nggak kapok dipermainkan petugas seperti itu, Pak? Kenapa nggak dilaporkan saja?” tanya saya akhirnya. Dia cuma tersenyum. “Orang cari makan macam-macam caranya. Mau yang aman ya seperti saya atau dengan memangsa sesama seperti mereka,” jawabnya singkat.
Tiba-tiba saya teringat wajah teman saya, Sebastian Mangur yang menjadi petani kopi dan cengkeh di Manggarai. Sebastian pernah mengeluh rendahnya harga jual kopi di desanya yang terpencil. Padahal di Jawa harga itu menjadi berlipat ganda. Sementara indomie, biskuit, dan sebotol aqua yang di Jawa kurang dari seribu lima ratus, di Flores menjadi 2-3 kali lipat. Mahal memang, melihat lika-liku pengangkutan barang ini. Tapi tanpa jasa Pak Tua dan rekan-rekannya, mana mungkin terjadi hubungan ekonomi mutualisme seperti ini.
“Mbak mau turun dimana?” tegur Pak Tua tiba-tiba. Tepat di depan kantor polisi, saya meloncat turun setelah menyelipkan uang rokok ke kantong Pak Tua. Dia hanya tersenyum tipis sambil berpesan agar saya berhat-hati. Lalu truknya menderu dalam kegelapan, meninggalkan saya yang lupa menanyakan nama aslinya. Untung saya mendapat kenang-kenangan sarung Maumere pemberian Steph dan teman-temannya, serta pesan mereka agar tak ragu-ragu mencari konvoi truk mereka jika berkunjung ke Flores lagi. Sungguh undangan persahabatan yang tulus.

Komentar

Postingan Populer