Tidurlah

Tidurlah, malam terlalu malam
Tidurlah, malam terlalu pagi

Malam ini mereka bercinta sebagai pasangan yang murni dan sah. Untuk terakhir kalinya. Sebab, bukan tidak mungkin esok tidak akan mereka temui. Bukan tidak mungkin mereka tidak akan lagi meningkahi merdu kicau burung di halaman beranda rumah mereka. Bukan tidak mungkin Nastiti taklagi membuatkan kopi manis untuk Aji, suaminya. Pagi selalu menjadi misteri bagi mereka.
“Izinkan aku untuk memelukmu, sayang,” pinta Aji lirih.
Nastiti menatap Aji bimbang. Betulkah esok segalanya akan kembali ke awal? Aji memeluknya, dan ia merasakan kebimbangan yang luar biasa. Rembulan suram. Samar sembunyi malu di balik kelabu. Tiada menerangi kemesraan mereka.
“Kau yakin dengan keputusanmu?” Tanya Aji.
Nastiti hanya terdiam. Sinar wajahnya begitu bercahaya kini di mata Aji. Malam yang muram telah mengubah wajah Nastiti menjadi sendu. Nastiti yang sendu, Nastiti yang ayu kemayu. Aji melihat Nastiti menangis. Wanita itu takkuasa berhenti di tengah pelarian kecemasannya. Namun, Aji takmampu mengejar langkah Nastiti yang hilang di tepian tirani. Kuasa Aji seketika luntur. Lumer oleh kekerashatian Nastiti.
“Aku takmau membuatmu kecewa,” jawab Nastiti pelan.
Akh, mengapa aku menangis? pikir Nastiti. Kebahagiaan selalu akan berujung pada lara. Suatu saat kita tertawa puas, lalu saat yang lain kita akan merasakan kesedihan yang dalam. Aji mengecup bibir Nastiti. Kecupan yang dulu membangkitkan gairahnya yang saat itu terlalu tabu untuk dikeluarkan. Kecupan yang dulu menghangatkan kesepian malam-malamnya. Mereka akan bertemu dalam gelap, mencurahkan perasaan bukan dengan kata-kata. Karena kata-kata takbisa mengungkapkan gejolak yang ada. Lidah mereka sibuk menata. Mata mereka terpejam, mencoba memahami betapa bahagianya makna sebuah cinta.
“Kau harus melepaskan pelukanmu sayang,” Nastiti mencoba melepas pelukan Aji. Namun, Aji menguatkan pelukannya seakan tidak ada kekuatan pun yang bisa melepaskan pelukannya, selain kematian dan perpisahan yang lara.
“Tidak. Izinkan aku Nastiti! Izinkan aku untuk terakhir kalinya.”
Nastiti takbisa berbuat banyak. Begitu pun ketika Aji merebahkannya di ranjang. Air mata takhentinya keluar dari mata Nastiti. Gelap menyelimuti pikirannya.

***
Seberapa dalamkah makna sebuah cinta dalam kehidupan manusia? Seseorang akan bermesraan bila bertemu dengan kekasihnya, lalu beberapa saat kemudian mereka akan saling memaki dan berpisah dengan perpisahan yang tidak indah. Setelah perpisahan itu terjadi, mereka akan saling mengenang dalam bayangan yang semu. Perasaan bisa berubah. Sebuah cinta bisa akan luput dari catatan kehidupan seorang manusia. Begitu mudah, semudah manusia melupakan seseorang yang dibencinya ketika seseorang itu tiada.
Mereka berdua terengah dengan peluh yang berkilat-kilat dalam gelap. Aji kembali memeluk Nastiti, istri yang telah bersamanya selama limabelas tahun. Bukan waktu yang sebentar, namun bukan berarti cinta akan bertahan ketika cinta tersebut telah terjaga dalam kurun waktu yang lama. Esok—mungkin—mereka akan menjalani hari-harinya sendiri. Tidak lagi bersama seperti limabelas tahun terakhir. Nastiti telah menceraikan Aji.
“Barangkali ini malam terakhir aku bersamamu,” Nastiti mencoba menguatkan dirinya.
“Aku sangat menyayangimu. Aku tidak bisa hidup tanpamu.”
Nastiti tersenyum, “Kau akan selalu merasa gelisah jika aku terus berada di-dekatmu.”
“Tidak, aku bahagia hidup bersamamu. Aku menjalani hari-hari yang indah denganmu Nastiti.”
“Tentunya kau akan menyesal jika masih bersamaku.”
“Tidak!”
Nastiti menahan tangisnya. Sudah capek rasanya jika ia harus kembali menangis. Ia tidak mau terlihat lemah di hadapan Aji. Esok Aji sudah bukan siapa-siapa lagi bagi dirinya. Besok, pengadilan akan memutuskan perceraian mereka.
“Bertahanlah sayang. Carilah wanita lain yang lebih baik dariku,” kata Nastiti sambil melepas pelukan Aji. Ia bangkit dari ranjang. Mengenakan pakaian dalam dan dasternya. Perlahan didekatinya gorden. Ia sibak sedikit. Cahaya lampu dari luar meremangi kamar. Mengapa ia ditakdirkan menjadi wanita yang terlalu lemah? Akh, mengapa pula harus Aji yang ia korbankan?
“Nastiti, sudah berapa kalikah aku bilang kalau aku menerimamu apa adanya? Bukankah pernikahan adalah menerima semua kelebihan dan kekurangan dari masing-masing pasangannya?”
Nastiti terdiam. Pikirannya kacau.
“Aku menerimamu apa adanya, sayang. Kita bisa hidup bahagia berdua saja. Dan tidak ada yang bisa menggoyahkan kita,” Aji berusaha membujuk Nastiti.
“Tidak ada sesuatu pun yang aku sesalkan, sayang. Kau istriku yang paling indah dan tidak ada wanita lain yang akan menggantikan posisimu,” Aji menambahkan bujukannya.
“Aji, rahimku…”
“Lupakan kekuranganmu. Masih banyak hal lain yang akan menunggu kita di hari yang akan datang. Kita masih bisa berjalan, dan aku akan selalu membimbingmu tanpa melihat kekuranganmu.”
“Aji, memiliki anak adalah impian bagi setiap wanita. Tapi…” Nastiti takmampu meneruskan kalimatnya.
Aji memeluk Nastiti dari belakang. “Apa setiap pernikahan mempunyai tujuan mempunyai anak?” Tanya Aji.
“Pernikahan untuk membuat sebuah keturunan.”
“Tidak, pernikahan itu untuk selamanya. Ada atau tidak ada keturunan juga,” bantah Aji.
“Pernikahan adalah untuk kebahagiaan kita masing-masing Nastiti. Dan aku telah bahagia hidup bersamamu.”
Nastiti membalikkan badannya dan menatap Aji dalam kegelapan. “Aku seorang wanita, Aji. Dan aku mempunyai perasaan yang lebih peka daripadamu. Aku sedih melihatmu gagal menjadi seorang ayah hanya gara-gara seorang wanita mandul sepertiku. Rahimku takbisa mengeluarkan benihmu. Malam dan pagimu tidak akan diributi oleh tangis anak kita yang gelisah mencari susu. Aku takmau melihatmu bermimpi. Aku ingin kau memperoleh kebahagiaan sejatimu. Seorang laki-laki akan selalu mendambakan keturunan. Wanita sepertiku hanyalah penghalang tujuan itu.”
Aji terdiam, terlalu susah kiranya hati Nastiti untuk diluluhkan. Jika ia takkuasa meredam keputusasaan Nastiti, jangan harap besok malam ia akan bersama Nastiti kembali.
“Nastiti…”
“Aji, hari sudah malam. Tentunya kau sangat lelah hari ini. Baiknya kita istirahat,” Nastiti memotong perkataan Aji. “Tidurlah, malam terlalu malam untukmu. Esok pagi kita akan terbangun dari mimpi manis kita dan kita menjadi manusia biasa lagi. Pagi kita takkan lagi terisi oleh lonceng kebahagiaan yang meningkahi rasa ngantuk kita. Tidurlah sayang, dan siapkan diri kita untuk esok hari,” Nastiti membopong Aji untuk kemali rebah di tempat tidur. Aji menjadi lemah, takkuasa menahan gejolak kebimbangan Nastiti.
“Malam tiba tanpa salam. Sudah waktunya bagi kita untuk meraba segala kesunyian yang ada. Bersyukurlah kita masih diberi waktu untuk menyusun kata-kata, berbicara, dan merindu ketika malam datang. Lalu tidurlah dengan nyenyak. Malam terlalu tua untuk kita renungkan sebelum pagi pun menjadi terlalu asing bagi diri kita. Tidurlah sayang,” Nastiti membelai suaminya dengan mesra. Barangkali malam ini adalah malam terakhir untuk meninabobokan Aji dengan sisa-sisa asmara yang terpendam. Dengan suara yang lirih, Nastiti bersenandung.

Akhirnya malam tiba juga
Malam yang kunantikan sejak awal
Malam yang menjawab akhir kita
Inikah akhir yang kita ciptakan?
                         
Dan pagi takkan terisi lagi
Lonceng bertingkah sebagaimana mestinya
Membangunkan orang tanpa membagi
Sedikit asmara untuk memulai hari

Tidurlah, malam terlalu malam
Tidurlah pagi terlalu pagi

Nastiti mengecup kening Aji. Aji tertidur seperti anak kecil dalam senandung Nastiti. Lambat laun Aji akan mengerti semua, dan mungkin akan melupakan Nastiti. Perlahan-lahan ia beranjak dari tempat tidur. Dengan langkah yang pelan ia meninggalkan Aji yang mulai didekap mimpi. Sebelum meninggalkan kamar, ia sempatkan untuk melihat Aji. “Kau adalah laki-laki yang terindah dalam hidupku. Hanya kau dan kau. Sayang rahimku terlalu lemah untukmu,” Nastiti menutup pintu kamar dengan pelan dan meninggalkannya seolah ia sudah menjadi ibu yang baik. Ibu yang berhasil meninabobokan anaknya dengan bersenandung merdu. Lebih merdu dari kicau burung. Lebih merdu dari nyanyian bunga-bunga. Malam semakin tua dan sunyi. Nastiti tidur di sofa. Ia tidur dengan airmata di pipinya. Tidak ada yang tahu kepada siapa airmata itu ia tujukan.

Tidurlah, malam terlalu malam
Tidurlah pagi terlalu pagi*)


Komentar

Postingan Populer