Melebur Hening Curug Silancur
|
Curug Silancur, Kebumen |
Siapa sangka, alam Kebumen begitu murah hati
dengan sajian lanskap istimewa perbukitan yang menawan rasa. Siapa sangka,
dalam senyap suasana terpencil dusun Pujegan, Wadasmalang, Karangsambung yang asri
terselinap sebuah permata yang membuat siapa melihatnya akan terpukau mesra.
Siapa sangka, permata, Curug Silancur, akan memaksa kita jatuh cinta pada
pandangan pertama yang tak terlupa sepanjang masa. Tatkala hadir di haribaan
Curug Silancur, segala persangkaan harus enyah karena anugerah Tuhan ini adalah
sebuah realita!
Daryanto (52) tadinya tak menyangka. Bahwa tengara
alam di kampungnya akan dicari oleh para pemburu keindahan dalam ruang kesunyian.
Pada biasanya, dia merasa Curug Silancur sekedar air yang terjun demi
melampiaskan fitrahnya bahwa air selalu mengalir dari tempat tinggi ke tempat lebih
rendah. Kebetulan saja sang air menjumpai tebing setinggi 20 meter. Lalu ia terjunlah
mencipta sebuah curug. Pria yang sehari-hari bertani ini pun menganggap Silancur
semacam aliran sungai yang sudah sewajarnya.
Tapi, Curug Silancur akhirnya membuat dia perlu
menyediakan waktu untuk memoles destinasi ini. Dia bersama beberapa warga secara
mandiri membuka jalan ke lokasi meski sangat sederhana. Seadanya. Pinggang
bukit yang curam pun diukir setapak tanah sejauh 200 meter yang tetap saja
terjal karena mereka melakukannya hanya atas niatan merintis jalan. Sekedar
memfasilitasi bahwa setapak ini berujung di muka Curug Silancur untuk mengantar
pengunjung bertakzim padanya.
“Saya usulkan Silancur agar dijadikan tempat
wisata desa tapi belum ditanggapi. Susah mengajak orang di sini untuk bergerak
mengembangkan desa. Padahal, Silancur ini katanya sudah masuk koran.” ungkap
Daryanto semangat dalam bahasa Jawa.
Tepat mentari berada di puncak hari, saya dan
sahabat saya: @anasafifi tiba di dekapan Curug Silancur. Panas yang mendera
langsung sirna oleh kepuasan bahagia bisa mencumbu panorama dan segarnya air
yang menjadi salah satu hulu Sungai Kedungbener.
Airnya masih alami, jernih. Adalah nikmat
dunia tak terkira bisa membasuhkannya pada wajah yang tadinya dipeluh keringat
dan debu. Seketika mata kembali membelalak. Ada gairah yang membuncah untuk
bersemangat
merayapi kemolekannya.
Hadir di Curug Silancur sebenarnya melemparkan
saya pada romantika klise sebuah panorama surgawi di sebuah lokasi yang sunyi.
Sebuah tempat privat. Hanya kami berdua yang saat itu merambahi pesonanya.
Sebagai suatu permata yang masih terjaga dari semarak publisitas, Curug Silancur
hanya dikunjungi oleh manusia-manusia yang mau mengorbankan jiwanya menjangkau ruang
terpelosok. Dari ibukota kabupaten, Kebumen, setidaknya 35 km menusuk ke utara,
menyusuri aliran Sungai Kedungbener hingga Dusun Pujegan, Wadasmalang.
Saat itu adalah musim kemarau. Tidak begitu
deras, air yang mengucur pada tebing vertikal yang kemudian tersambut bebatuan
sentrifugal. Percikannya tak membuat badan kepalang basah di bawahnya. Meski
begitu, guyuran air yang penad ritmis berhasil meningkahi keheningan suasana.
Saya bayangkan, jika musim penghujan tiba, air Curug Silancur akan meningkat
drastis yang menciprat siapa saja di kakinya menjadi basah kuyup.
|
Kawan saya @anasafifi sangat menyukai keheningan Curug Silancur. Semacam surga dunia baginya. |
|
Curug Silancur dengan bunya yang tumbuh bersama rumput di tepi sungai. |
|
Kolam genangan air yang jika dibersihkan cocok untuk berendam. Segar. |
|
Terasering cantik di pedesaan Wadasmalang. Seperti Ubud dalam wujud yg lebih sederhana. |
Saya terduduk di atas sebuah besar yang menghadap
langsung pada Silancur. Sepertinya ia disediakan khusus untuk menyesap nuansa syahdu.
Memang benar. Inilah panggung untuk melihat atraksi sempurna Curug Silancur.
Bukan saja air mengucur yang jadi atraksi utama pada kawasan yang diapit dua
bukit ini, tetapi kejutan tingkah dari para fauna penunggu lingkungan Silancur.
Ini semacam keberuntungan karena niat saya hadir di sana semata-mata mencinta
keagungan alam, bukan mencinta pada yang lain.
Saksikanlah kawan, ikutilah gerak mata saya.
Seekor elang melukis langit yang berkanvas biru ceria dengan gerak gaharnya
terbang berputar-putar. Matanya awas menyelidik mangsa sambil merentangkan
sayapnya secara konsisten dalam jangka kala yang lama. Bukankah ini panorama
langka yang hanya bisa dijumpai pada alam yang masih terjaga ekosistemnya?
Tapi, ketakjuban paling nyata adalah saat
seekor tupai bertingkah penuh canda mendekati tas dan jaket saya yang
tergeletak di seberang tepian. Ekornya berkibas-kibas manja. Maju mundur
melangkah. Menggaruk-garuk tanah. Dia seolah pamer bahwa ia adalah hewan periang
yang pantas menjadi pusat perhatian. Ia dinanti berbuat sesuatu kepada tas
saya, tapi dia malah memutuskan lari pergi. Bersembunyi pada lorong ilalang.
Alam Silancur juga diwarnai oleh kehadiran
puluhan kupu-kupu kuning. Mereka asyik bermain. Hinggap bergerombolan pada
sebongkah tanah ataupun sekuntum bunga liar di rerumputan. Tak bosannya saya
memandang kepadanya. Mereka laksana penghibur yang awet membuka cakrawala
kedamaian di tengah terik siang tapi menyejukkan.
Satu jam lebih, kami tercebur pada suasana
hening Curug Silancur. Hingga akhirnya sepasang jejaka hadir menjadi pengusik
keheningan kami di sana. Ah, ruang sunyi milik kami tak lagi terprivasi. Tak
rela kami berbagi sepi. Kami pun memutuskan pergi. Beranjak kembali .
Mesti juga menjadi perhatian, bahwa sajian semesta
sekitar Curug Silancur juga kaya dengan cita rasa lanskap yang memanjakan
indera. Alam deretan perbukitan
Karangsambung terjalin harmonis antara keteduhan hutan pinus, hutan cemara, dan
eksotisme sawah terasering yang mengukir lekuk perbukitan. Serasa melemparkan
kami pada imajinasi Ubud Bali tapi dalam skala lebih alami dan apa adanya. Jelas,
tak ada bosannya, saat memacu motor ke sana. Kami selalu dihibur oleh suguhan
panorama memikat cinta.
Hanya saja, Daryanto mengharap pinta. Bukan
uang lelah – untuk ini dia tidak meminta, saya inisiatif dan sukarela beri uang
atas kebaikannya menunjukkan arah kepada kami, tapi sarannya lebih penting tentang
kewaspadaan pada kendaraan yang ditinggal di pinggir jalan saat menuju lokasi
Curug Silancur. Kadang berburu keindahan bisa melenakan kehati-hatian.
Sesungguhnya di kawasan Curug Silancur belum ada tempat parkir dan tukangnya
yang representatif. Kadang hanya hari Minggu saja ada yang menjaga.
“Sebaiknya kalau tidak ada yang jaga di jalan
masuk Silancur, kendaraan di parkir di pertigaan Pujegan saja. Di situ, walau
ditinggal sendirian pasti aman“, pesan Daryanto.
Daryanto memang orang kampung yang sangat
peduli pada eksotika desanya. Dia memberi kami bonus keindahan. Ia menunjukkan
sebuah curug lagi yang ada di kawasan Pujegan. Tak jauh dari pertigaan kampung.
Curug itu bernama Curug Bebeg. Sesungguhnya curug setinggi 15 meter ini
bukanlah air yang terjun, tetapi air yang merayap pada tebing miring yang sangat
curam. Musim kemarau debit airnya sangat minim. Namun, kata Daryanto, jikalau
mengucur deras, Curug Bebeg cukup menawan untuk disigi dan dinikmati.
Oh iya..? Baiklah. Saya penasaran untuk
membuktikan ucapannya. Saya akan datang lagi ke Pujegan saat musim hujan. Terbuka
gerbang jumpa lagi bersama Daryanto yang mana saya mesti menabung rindu sampai
waktu terbaik ke Curug Bebeg tiba. Tapi, apakah jikalau saya kembali sudah
terwujud pengelolaan wisata Curug Silancur dan Curug Bebeg? Kali ini, saya tak
akan berprasangka. Biarlah waktu yang membuktikan... Dan, Daryanto pun tak
terlalu yakin jua.
|
Suasana damai yang membekap Curug Silancur. Cocok untuk pemburu ketenangan. |
|
Air yang jatuh akan menyebar sentrifugal menghantam bebatuan. Eksotis. |
|
Duduk di atas bebatuan besar. Berhadapan dengan Silancur. Sebuah panggung yang sempurna. |
|
Aliran Sungai Kedungbener. Kaya dengan formasi batuan yang sarat informasi ilmiah. |
|
Kupu-kupu yang suka bermain di sekitar keheningan Silancur |
|
Terasering saat menuju ke Curug Silancur. Indah menawan. |
|
Terasering unik yang mengukir alam Wadasmalang. |
|
Jalanan terjal menuruni perbukitan untuk mencapai Curug Silancur. |
|
Di tikungan inilah, petualangan jalan kaki menuju Silancur dimulai. Hati-hati untuk kendaraan yang diparkir. |
|
Penampakan Curug Bebeg. Air mengalir lirih saat musim kemarau. Potensi yang mesti diungkap. |
|
Tengara unik Curug Silancur. Sentrifugal. |
|
Curug Silancur yang hening |
|
Daryanto, warga Pujegan yang mengantarkan ke Silancur. |
|
Curug Silancur mesti dikunjungi. Pesona tersembunyi Kebumen. |
Komentar