Tebing Parangendog

Membingkai Sore Tebing Parangendog

Jogja selalu tidak kekurangan tempat untuk menyesap pergantian siang ke malam. Pada sebuah sore, saya terduduk di ujung selatan Jogja. Di atas lantai beton Parangendog, sebuah tebing di timur Parangtritis.
Entah tak ingat lagi, sudah berapa kali saya hadir di tempat yang menjadi landas pacu paralayang ini. Sendiri, berdua atau beramai-ramai. Entah untuk membuang gelisah, menentramkan jiwa, mensyukuri karunia, menemani kawan ataupun mantan, mendamba seseorang, atau untuk sekedar mengantarkan surya kembali ke peraduan.
Sore itu pun Parangendog tidak ada yang berubah. Masih seperti dulu. Di tepian tebing yang berlokasi di Desa Girijati, Purwosari, Gunungkidul, saya kembali menyaksikan hamparan Parangtritis dengan pasir hitamnya berbatas gulungan ombak Laut Selatan.
Titik-titik manusia mungil memanjang mengikuti kontur pantai. Perbukitan hijau yang asri menjorok di daratan turut meneduhkan mata. Di kejauhan, muara Sungai Opak Oyo membentuk genangan yang luasnya tidak berarti dibandingkan lautan. Dan, selalu saja pandangan mata saya berbatas pada lautan lapang yang terbentur cakrawala.
Tapi, ada yang beda sore itu. Mentari kuat memancar. Awan tak terlalu bernafsu mengganggu sinarnya di penghujung hari. Langit pantai Selatan cukup bersih untuk syahdu menyongsong senja.
Mentari pun perlahan turun. Semakin mendekat pada lautan, sinarnya meredup. Tapi sebaliknya, bulatan wujudnya membesar dan memerah. Hingga ia pun tertelan oleh horison lautan. Sepasang remaja di sebelah saya bertepuk tangan seperti penonton yang melihat pertunjukan dengan happy ending. Dan, bagi saya tidak ada kepuasan lain selain baru kali ini menyaksikan sunset Parangendog secara sempurna. Seperti apa yang saya saksikan di Pantai Losari dua tahun silam.
Rasanya keberuntungan saya belum berhenti. Inilah yang merangsang memori untuk mengulangi sebuah senja istimewa di masa silam. Guratan awan tipis menjulur bagaikan lidah api diterpa pancaran surya dari balik lautan. Jingga keemasan. Eternal Flame! Ah saya teringat lagu milik The Bangles, band cewek asal Amerika Serikat yang eksis pada dekade 80-an.
Close your eyes, give me your hand, darling
Do you feel my heart beating
Do you understand
Do you feel the same
Am I only dreaming
Is this burning an eternal flame.

Suara adzan mulai berkumandang di surau-surau sekitar Parangtritis. Lampu-lampu jalan dan pemukiman telah dinyalakan. Berkelip-kelip dalam bayang-bayang senja yang kian menghitam. Saya pun turun karena itulah yang semestinya dilakukan. “Kalau sudah maghrib, turun gih”, itulah yang biasa dipesankan oleh Bu Maryati, penjual warung sekaligus penjaga di parkiran Parangendog. Motor pun saya kendarai hati-hati saat menuruni jalan curam karena kegelapan telah sempurna membiaskan pandangan. Sampai jumpa lagi.
Tapi, saya pasti akan kembali lagi ke Parangendog.








Komentar

Postingan Populer