Gunung Purba Nglanggeran

Menggapai Gunung Purba Nglanggeran


Bebatuan hitam nan besar tegak lurus menjulang. Seperti menantang langit yang saat itu perlahan bangkit dari kegelapan. Bebatuan ini berbaris, berjajar serasa bersikap hormat menyambut kedatangan kami yang pagi itu berniat mendakinya, menaklukkannya.

Di kaki-kakinya, suasana Desa Nglanggeran, Pathuk, Gunungkidul masih sunyi. Belum beranjak dari kenyamanan malam yang tenang. Tapi, saat tiba di parkiran wisata Nglanggeran, kami mesti lekas berjalan mengejar impian: Mengejar baskara terbit di Puncak Nglanggeran.

Pagi masih buta tatkala kaki mulai melangkah. Ada semangat bergelora lima insan muda menyongsong kepada haribaan alam gunung purba. Dimulai dari Joglo Kalisong – gerbang awal pendakian – langkah kaki pun langsung cepat. Bergegas. Setapak demi setapak semen yang dibangun pengelola wisata Nglanggeran lekas kami libas. Nglanggeran memang sudah dipoles untuk memenuhi standar kenyamanan wisatawan. Lampu-lampu menyala, memberi terang yang memandu wisatawan dalam remang. Setidaknya, fasilitas ini akan dinikmati hingga pos 1, Puncak Gunung Bagong.

Meski sudah dikemas wisata, perjalanan tetap tak mudah. Kadang harus menemui jalanan yang masih kasar berbatu. Kadang harus merayap di atas batuan dengan bantuan tali. Dan, selalu saja mesti ekstra hati-hati dalam setiap langkah. Nuansa petualangan alam begitu terasa. Sambutan pagi cicit-cicit burung liar begitu meriah. Seperti menyemangati kami agar pantang menyerah.

Sampailah kami di Lorong Sumpitan. Sebuah lorong sempit yang terjepit di antara rekahan batu vulkanik besar. Lebarnya hanya sekitar 75 cm. Panjangnya 50 meter menanjak. Di ujung akhir lorong terdapat sebuah batu yang menggantung. Tertahan karena terjepit. Satu per satu perlahan melalui lorong yang sekilas saya imajinasikan seperti pada film 127 Hours. Terbayang bagaimana Aron Ralston, sang penjelajah alam, terjepit pada lorong sempit selama 127 jam dan mesti mengamputasi tangannya sendiri agar bisa lolos dari lorong untuk menyelamatkan diri.

Buru-buru terlempar pada suasana nyata, saya tersadar diingatkan D.A. untuk lekas bergerak. Lorong Sumpitan ini hanya cukup satu orang, jadi harus antri bergantian. Kalau ada yang berpapasan pun harus ada yang mengalah. Menunggu di salah satu ujung. Lorong Sumpitan menjadi salah satu titik primadona pendakian Nglanggeran.
Tapi, di mana yah Munadi? Hanya berempat yang melintasi Lorong Sumpit
an. Ah, lelaki gahar penakluk gunung-gunung Jawa ini ternyata lebih memilih merayap di atas batuan di samping Lorong Sumpitan. Barangkali, baginya cara ini lebih lelaki dan menantang. Sukses melewati Lorong Sumpitan, tak lama lagi kami akan sampai di Pos 1. Langkah kaki pun dipercepat.

Pos 1 adalah dataran terbuka di atas batuan. Merupakan puncak Gunung Bagong. Langit sudah mulai terang tatkala kami mencapainya. Untungnya surya belum muncul. Masih tersingkap di balik daratan Bumi. Atau, memang karena terhalang batuan besar hitam bergaris-garis di seberang timur Pos 1. Sepertinya kemungkinan kedua lebih tepat. Pos 1 menawarkan sajian pemandangan ke arah barat Nglanggeran. Berjejeran tower yang tegak menantang langit di atas sawah-sawah terasering yang menghijau. Dataran Jogja di belakangnya masih tampak kuyu terselimut kabut tipis.

Tapi, benar! Sinar surya sudah menghangatkan puncak bukit-bukit yang ada di sekitar Nglanggeran, meski masih malu-malu.

“Santai saja mas! Tetap saja kita tak akan dapat sunrise. Sudah terlalu siang. Mending, istirahat nikmati suasana.” ucap saya menawarkan solusi. “Sebentar saja”

Kami pun nge-slow, memilih rehat sejenak di Pos 1. Saya hirup dalam-dalam udara segar Gunung Nglanggeran. Oksigen bersih serasa lekas memenuhi paru-paru, mengusir zat-zat kotor yang bercokol lama di dalamnya. Jantung pun mendapatkan pasokan darah lebih sehat, menggantikan darah-darah yang lelah. Sekarang, degup jantung saya menjadi stabil tenang. Ada energi baru untuk menuju Pos 2. Kami pun berkemas berangkat.

Suasana Pagi dari Gunung Bagong. Daratan Gunungkidul berselimut awan. @iqbal_kautsar
Sebingkai mentari pagi di Puncak Nglanggeran. @iqbal_kautsar
Dari Puncak Gunung Gede. Terpampang daratan luas Gunungkidul. @iqbal_kautsar
Merapi, Bukit Tower dan Sawah terasering dari Puncak G. Bagong, Nglanggeran. @iqbal_kautsar

Perjalanan selanjutnya lebih panjang, tetapi lebih datar. Jalanan sudah jarang yang berlapis setapak semen. Sekedar tanah liat yang dipadatkan. Pada beberapa titik, tanah masih basah sedikit licin. Bekas hujan kemarin atau aliran air yang berasal dari mata air yang merembes. Pada jalur ini, kami pun mulai merambah kelebatan hutan. Pohon-pohon berpadu dengan semak-semak belukar. Penghuni hutan lainnya, burung-burung riuh berkicau di awal pagi yang pas menjadi pengusir kesepian di dalam hutan. Tak kalah, desiran serangga hutan bersaing meramaikan suasana.

D.A., satu-satunya wanita dalam perjalanan ini, paling bersemangat melangkahkan kaki. Tak terlihat rasa capek padanya – dia selalu pamer pada rutinitas olahraga fisiknya selama ini. Atau, bisa jadi dia pintar menyembunyikan rasa capeknya? Tapi, karena dialah kami sempat tersesat. Dia berbelok pada percabangan yang salah. Untung tidaklah jauh, Munadi menuntun rombongan untuk menemukan jalan yang benar.

Pos 2 dilalui di tengah hutan. Langsung kami bergerak menuju Pos 3 alias Puncak. Langkah pun kami percepat karena sinar matahari telah merangkak dari balik rerimbunan hutan. Meski sunrise sudah telat, jangan sampai terlewat surya yang terlampau meninggi. Masih ada harapan pada sinar keemasannya yang mewarnai daratan-daratan berkabut rendah.

Di tepi jalan, kami menemui sebuah tenda. Wah, ada yang berkemah tadi malam di Nglanggeran! Berkemah merupakan salah satu kegiatan yang banyak dilakukan petualang. Biasanya untuk menikmati malam penuh kerlap-kerlip lampu Jogja, Klaten dan sekitarnya. Atau untuk memudahkan memburu sunrise di awal pagi dari atas Puncak Nglanggeran. Tapi, saat itu sang penunggu kemah sepertinya masih nyenyak pada tidurnya. Zzzzzzz...

Akhirnya, perjalanan satu seperempat jam menemui targetnya. Waktu yang ditempuh termasuk cepat karena biasanya standar satu setengah jam. Terakhir, kami mesti merayap di atas bebatuan untuk menggapai puncak. Tibalah di Puncak Nglanggeran. Di atas Gunung Gede yang merupakan puncak sebelah barat Gunung Nglanggeran. Datarannya luas. Berpadu antara rerumputan dengan bebatuan hitam.

Saat itu, kami satu-satunya pemuncak Gunung Gede. Sepi dan lengang. Tas diletakkan. Istirahat. Menenggak minum mengusir dahaga. Saya menikmati panorama mentari yang telah meninggi, tapi mewarnai hamparan hijau dataran lebih rendah di sekitar Nglanggeran. Gunung Merapi gahar menyembul di ufuk utara seperti menutupi kelembutan Gunung Merbabu di belakangnya. Bebatuan vulkanik raksasa Gunung Blencong – puncak timur Nglanggeran – tak kalah indahnya tatkala mata berkeliling menerawang cakrawala.


Sarat Mitos

Gunung Nglanggeran adalah deretan gunung batu raksasa dan merupakan gunung api purba yang pernah aktif 60 juta tahun lalu. Tersusun dari fragmen material vulkanik tua yang memiliki dua puncak yakni puncak barat dan puncak timur, serta sebuah kaldera di tengahnya. Kini Nglanggeran sudah padam dan menyisakan bebatuan raksasa yang berwujud eksotis. Nama-nama gunung (batuan raksasa) di Nglanggeran pun berasal dari bentuknya yang mirip pada sebentuk benda, seperti Gunung 5 Jari, Gunung Kelir, Gunung Bagong dan Gunung Wayang.

Sesaji penghormatan 'penunggu' Nglanggeran. @iqbal_kautsar
Padang rumput di antara Puncak Gunung Gede utara dan selatan. @iqbal_kautsar
Merapi, Bukit Tower dan Sawah terasering dari Puncak G. Bagong, Nglanggeran. @iqbal_kautsar
Tangga mendaki ke Puncak Gunung Gede sebelah selatan. @iqbal_kautsar
Banyak mitos yang melingkupi Gunung Nglanggeran. Masyarakat setempat meyakini bahwa Gunung Nglanggeran dijaga oleh Kyai Ongko Wijoyo serta tokoh pewayangan Punokawan, seperti Kyai Semar, Kyai Nolo Gareng, Kyai Petruk, dan Kyai Bagong.

Selain itu, ada mitos Nglanggeran dilingkari Naga Besar yang memiliki kesaktian menyembuhkan segala bentuk macam penyakit. Ini terwujud adanya pohon Termas yang bentuknya menjalar seperti ular. Pohon ini dapat mengeluarkan air obat, tetapi hanya pawang khusus yang bisa mengambil tanaman ini dan harus dengan ritual khusus agar air obat dapat berkhasiat.

Kalangan masyarakat Nglanggeran juga memercayai leluhur Desa Nglanggeran, Kyai Soyono, memiliki klangenan Macan Putih. Macan Putih bertugas menjaga dan mengamankan Nglanggeran dari berbagai macam kejahatan. Oleh karena itu di Desa Nglanggeran, selalu tertangkap orang yang bertindak jahat dan kehidupan warga senantiasa aman tentram. Nama Nglanggeran pun memiliki kaitan erat dengan mitos ini. Nglanggeran berasal dari kata ‘Planggaran’ yang bermakna setiap perilaku jahat pasti tertangkap/ketahuan. Ada juga yang menuturkan Nglanggeran berasal dari kata ‘Langgeng’ artinya desa yang aman dan tentram.

Di atas Puncak Gede ini, kami menemukan aneka sesaji. Dalam Tradisi Jawa, sesaji menjadi wujud penghormatan masyarakat kepada ‘penunggu’ agar bisa sama-sama hidup selaras sehingga tidak menimbulkan gangguan yang mencelakakan. Sesaji ini masih baru. Tampaknya diletakkan kemarin sore. Kami pun memutuskan berpindah ke puncak barat Nglanggeran sebelah selatan. Memutuskan untuk menikmati sudut lain Nglanggeran.

Tidaklah jauh. Jalanan datar. Melewati rerumputan berembun yang diterpa sinar emas mentari. Sempat saya berhenti mengabadikan momen emas di tanah rumput ini. Perjalanan lancar hingga berhadapan dengan sebuah tangga vertikal. Tangga kayu ini digunakan membantu wisatawan naik ke puncak. Mendaki pada bebatuan curam. Dengan kewaspadaan dan hati-hati, akhirnya kami sukses mendaki tangga.

Kami mendapati panorama lebih lapang untuk menerawang dataran karst Gunungkidul. Kabut putih seakan mengambang di atas hamparan hijau bergelombang. Saat itu adalah penghujung musim hujan, sehingga tak tampak kerontang Gunungkidul. Uniknya, Nglanggeran yang merupakan gunung vulkanik ini berada pada kawasan karst Baturagung. Sebongkah batu raksasa di atas lapangan perbukitan karst. Inilah yang menjadikan kawasan Gunung Nglanggeran juga menjadi tujuan penelitian tentang ilmu bumi.

Siang kini sudah semakin menjelang. Surya menerik menerpa badan. Angin lembut dari sisi selatan berhasil mengkantukkan mata saya. Saya pun merebahkan diri di atas bebatuan. Di ujung puncak, Munadi dan Dito terduduk menikmati pesona. D.A. tak jelas sedang melakukan apa. Sedangkan, Lingga sibuk memotret kesana kemari. Maklum dia sedang mengasah kemampuan fotografinya, sekaligus menjajal kamera Nikon barunya. Ah, saya pun sebentar memejam.

Tak terasa, satu jam kami di puncak Gunung Gede sebelah selatan. Saatnya turun untuk menuju Embung Nglanggeran. Embung ini baru saja diresmikan pada bulan Februari lalu. Dari atas Puncak Nglanggeran, Embung ini menjadi tengara yang begitu mencolok. Kontras dengan lanskap sekitar. Sebuah kolam yang dipeluk dedataran hijau dan coklat. Inilah yang mengundang kegairahan kami untuk lekas turun menuju ke sana. Langkah turun pun lebih mudah.

Ah, ternyata monyet-monyet liar Nglanggeran sudah bangun. Sempat kami melihat gelagat para monyet bergelantungan dan berloncatan antarpohon di hutan dekat Pos II. Mereka sambil gaduh bersahutan memecah sepi rimba. Tapi kami lekas meninggalkannya karena memburu target tidak terlalu siang di Embung Nglanggeran. Tak sampai sejam kami turun gunung. Tiba kembali di tempat parkir wisata Nglanggeran. Kami pun tancap gas ke lokasi embung. Dua kilometer ke arah tenggara, dari Joglo Kalisong.


Embung 'Anyar' Nglanggeran

Jalanan belum beraspal. Masih sekedar jalan semen hasil gotong royong warga. Meski begitu, saya termanjakan dengan batu-batu yang berserakan di persawahan. Kadang, batu-batu raksasa Nglanggeran tampil menjulang membenturkan cakrawala. Motor pun kami parkir tepat di depan rumah di bawah embung. Tepat di bawah pohon kelapa yang meneduhkan.

Menuju Embung Nglanggeran. Melewati Desa Nglanggeran Wetan. @iqbal_kautsar
Embung Nglanggeran dengan latar G. Nglanggeran. @iqbal_kautsar
Embung Nglanggeran dengan latar dataran karst Gunungkidul. @iqbal_kautsar
Tengara Embung dan Kebun Buah Nglanggeran. @iqbal_kautsar

Panas yang terik tak menyurutkan kami untuk lekas mendaki tangga embung. Patung durian menyambut kami saat mulai menapak langkah. Di atas, tulisan “Selamat Datang Kebun Buah Nglanggeran” menjadi tanda yang barangkali patut menjadi simbol narsis pengunjung. Saat itu di Embung Nglanggeran telah hadir beberapa rombongan wisatawan. Kami berpapasan di tangga. Mereka sibuk narsis berjepret ria.

Sebenarnya, Embung Nglanggeran hanyalah sebentuk tempat tampungan air yang besar. Terletak di atas ketinggian pada kawasan Gunung Pendem, Dusun Nglanggeran Wetan. Rencananya Embung Nglanggeran menjadi pemasok air bagi Kebun Buah Nglanggeran. Kebun Buah ini masih dalam tahap persiapan. Baru sedikit lahan yang ditanami tanaman buah seperti durian, kelengkeng. Jelas kini tanah kebun masih kerontang. Rencananya kalau tumbuh subur, para wisatawan akan bisa memetik sendiri buahnya setelah 6 tahun mendatang.

Baiklah, lantas apa yang dinikmati dari Embung Nglanggeran? Toh hanya embung biasa yang terisi air saja?
Seorang penjaga menyatakan bahwa rencananya di embung ini akan disediakan semacam sepeda air, bebek air untuk wisatawan. Tapi bagi saya, sekedar embung saja telah menarik minat keindahan saya. Dari tepian, sangat eksotis memadukan pesona deretan batuan raksasa hitam Nglanggeran dengan kubangan air Embung Nglanggeran. Terpampang jelas puncak Nglanggeran yang berhiaskan langit biru menawan. Ini pun cukup membuat saya optimis jadi tempat favorit membuang gamang.

Kawan-kawan saya tak betah lagi. Ingin lekas pulang ke Jogja karena panas kian terik. Saya juga tidak betah lama karena Embung Nglanggeran masih kering atraksi. Saya pun segera menyusul balik ke tempat parkir.

Dalam hati, sembari turun tangga, saya mengharap sederhana. Semoga Kebun Buah Nglanggeran tidak bernasib seperti Kebun Buah Mangunan. Yang kurang terawat, yang kurang berbuah. Semoga Embung dan Kebun Buah Nglanggeran bisa menyejahterakan masyarakat Nglanggeran. Melengkapi Geowisata Gunung Purba Nglanggeran.

Bebatuan raksasa yang menyembul. Itulah Nglanggeran. Dilihat dari Desa Nglanggeran. @iqbal_kautsar
Joglo Kalisong, Nglanggeran. Titik mula pendakian. @iqbal_kautsar
Mata air di dekat Pendopo Kalisong, titik awal pendakian Nglanggeran. @iqbal_kautsar
Goa Song Gudel. Salah satu tempat keramat di Nglanggeran. @iqbal_kautsar
Tebing G. Bagong. @iqbal_kautsar
Puncak G. Bagong di sebelah barat Gunung Nglanggeran. @iqbal_kautsar
Bebatuan Vulkanik Tua Raksasa G. Nglanggeran di sebelah barat. Eksotis bergaris-garis. @iqbal_kautsar

Jalur menembus belantara Nglanggeran. @iqbal_kautsar
Semacam bunga di hutan Nglanggeran. @iqbal_kautsar
Kaki seribu merayap pada tebing di Lorong Sumpitan. @iqbal_kautsar

Lorong Sumpitan. Sempit. Seperti dalam film 127 Hours. @iqbal_kautsar

Pohon meranggas di tengah hijaunya hutan. Merapi menjadi latar

Komentar

Postingan Populer