Jembatan Gantung Selopamioro Imogiri

(Wisata) Jembatan Gantung Selopamioro Imogiri

Jembatan Selopamioro. Tengara unik di pelosok Imogiri.
Warna kuningnya kontras dengan obyek di sekitarnya. Membentang melintasi Sungai Oyo yang mengular menembus perbukitan karst Gunungkidul. Jembatan Gantung Siluk atau yang lebih dikenal dengan Jembatan Selopamioro menjadi landmark dalam keheningan desa. Hari itu, surya begitu terik. Tetiba di sana ibarat sebuah oase yang menjadi pemuas dahaga pencarian tengara unik di pelosok Imogiri ini.

Seorang simbok separuh baya terlihat bersusah payah memanggul ranting dan kayu yang diambilnya dari hutan. Dia baru saja melintasi jembatan dalam kesendirian. Sembari menahan berat, dia sambil tertunduk untuk mempermudah berjalan.

“Permisi, bu.” ucap saya tatkala berpapasan.

Seketika dia menghadapkan wajahnya kepada saya. Segurat senyum tulusnya merekah sambil berkata ramah. “Monggo, mas.” 

Saya tahu, demi membalas sapaan saya, dia rela mendongakkan kepalanya. Meski dia butuh tenaga ekstra untuk melakukannya. Memilih menahan beban.  Saya pun langsung merasa disambut bak kafilah terhormat di tengah kegersangan dataran perbukitan yang kala itu mulai mengering. Sapaan ramahnya adalah khas manusia-manusia pedesaan Jawa.

Jembatan Selopamioro adalah penghubung Desa Selopamioro dengan Desa Sriharjo, Imogiri, Kab. Bantul. Jembatan ini dibangun untuk memberi solusi akses transportasi. Meski hanya bisa dilalui pejalan maupun kendaraan roda dua, jembatan yang dibangun tahun 2004 pantas menjadi pemintas. Alih-alih penduduk setempat harus memutar lebih jauh beberapa kilometer. Masyarakat lebih cepat menuju kota kecamatan: Imogiri. Anak-anak lebih mudah bersekolah di sekolah tingkatan lebih tinggi. Ekonomi desa pun lebih bergeliat.

Saya menjajal melintas. Struktur jembatan beralas kayu yang tersusun-susun dengan diikat pada tambang menggantung sepanjang 70an meter. Tambang ini bersandar pada dua tiang pancang di tepian sungai. Jembatan ini menjadi sebuah sigi yang menantang bagi siapa yang berada di atasnya. Tapi, tatkala saya berjalan sendiri tidaklah terasa sensasi ‘asyik’ bergoyang. Masih cukup tolerable meski sedikit berguncang.

Sebuah motor bebek melintas. Tepat saat saya berada di tengah jembatan! Goyangan jembatan yang dirangkai suara kreteg berdecit pun timbul. “Kreteg-teg.. teg.. Cit.. cit..“ Dan, sekarang baru terasa sensasinya. Saya pun berpegangan pada tambang yang menjadi pembatas sisi jembatan. Ini demi menjaga keseimbangan (dan keselamatan).

Bagi yang paranoid terhadap guncangan, pasti hal ini akan menegangkan. Menakutkan. Ah, bagi saya biasa saja. Malah, seperti yang saya duga, senyum ramah warga pelintas jembatan pasti dijamin membuyarkan ketegangan. Saya pun berjalan hingga ujung jembatan. Lalu kembali. Bahkan sempat dua kali bolak-balik karena ingin merasakan asyiknya sensasi bergoyang di atas jembatan.

Pembatas tepi jembatan Gantung.

Terasering Sawah Selopamioro.

Sungai Oyo dari tengah jembatan gantung. Musim kemarau airnya tenang.

Sebenarnya tempat ini bukanlah obyek wisata. Sekedar jembatan umum untuk kemaslahatan warga. Tapi siapa sangka, Jembatan Gantung Selopamioro cukup masyhur menjadi target perburuan wisata alternatif di Jogja. Entah tahu dari siapa, seorang kawan saya yang berasal dari luar Jogja pun pernah mengajak saya ke Jembatan Gantung ini. Barangkali karena Jembatan Selopamioro sering menjadi lokasi syuting beberapa iklan. Sebut saja iklan salah satu provider seluler dan partai politik.  Fotografer model maupun pre-wedding juga sering memanfaatkan jembatan ini sebagai lokasi jepretnya.

Ya seperti itulah memang karakteristik tempat-tempat di Jogja. Dan juga manusia-manusia yang bergiat di dalamnya. Setiap tengara unik bisa diklaim menjadi tempat wisata. Ke tempat-tempat terpelosok pun akan dicari. Diserbu lalu disebarluaskan ke penjuru dunia. Oleh karena itu, lokasi wisata di Jogja itu berserakan di mana-mana. Tapi rasanya, orang-orang Jogja memang penganut sejati “setiap lokasi adalah destinasi”. Sense of tourism nya begitu peka. Wisatawan mancadaerah maupun mancanegara pun turut menikmati wisata blusukan seperti di Jembatan Selopamioro ini.

Tapi, memang bagi yang mendamba keindahan, kawasan di sekitar Jembatan Selopamioro pantas memuaskan hasrat. Tatkala saya mulai lepas dari pertigaan di SMP 2 Imogiri di jalan Imogiri – Panggang,  perjalanan menyusuri setapak ke Jembatan sudah disuguhi aroma harum pedesaan khas Jawa yang menguar.

Terlebih saat bersanding di tepian Sungai Oyo. Bebatuan kapur di kanan kiri sungai Oyo seolah melemparkan saya pada sebuah ‘lembah yang hilang’. Namun, ‘kehilangan’ itu berujung akhir saat saya menemukan peradaban yang ramah di Desa Selopamioro. Waktu itu beberapa warga tampak bersantai di depan rumahnya. Mereka menikmati siang sepulang dari ladang-ladangnya. Sempat saya menyapa dan bertanya untuk memastikan lokasi Jembatan gantung yang terpelosok ini.   

Yang membuat Selopamioro semakin menawan adalah terasering sawah selepas perkampungan warga. Bertingkat-tingkat seolah mengukir batuan-batuan kapur. Warna hijaunya berpadu dengan kelegaman bebatuan yang juga harmonis dengan biru langit yang terang. Sungguh sebuah panorama pedesaan yang elegan.

Saya terjerat untuk berhenti dan menyusuri pematang sawah. Wow, berada di tengah pepadian yang asri menawan hati. Siapa yang tidak tahan untuk tidak merambah pesona ini? Ah, seperti mengembara pada subak-subak di  Ubud, Pulau Bali. Ya, seperti itulah otak manusia, mencoba mencocok-cocokkan pada lokasi wisata yang lebih dikenal. Tapi bagi saya, terasering Selopamioro jelas tidak kalah.

***

Satu jam tidaklah terasa. Walau kami sekedar memandang manja ke jembatan gantung dan sekitarnya. Di bawah rimbun sebuah pohon di tepi setapak lah, dari tadi saya terduduk bersama sang kawan.  Cukuplah masyhuk dibelai oleh semilir angin yang datang dari celah perbukitan.

Kini, kami siap beranjak pulang. Pas sekali bebarengan beberapa bocah setempat datang. Seumuran anak SD. Saya menyapa mereka sembari membawa motor kembali ke setapak. Mereka pun membalas sapa dengan laku malu sedikit tertawa.

Lalu... Mereka turun ke dasar sungai. Aha.. Ternyata bocah-bocah ini akan mandi di sungai. Di bawah jembatan gantung! Musim kemarau menjadikan sungai Oyo bersikap ramah. Alirannya tenang dan warna airnya tidak keruh coklat. Tapi juga tidak jernih. Jelas kontras kalau saat musim hujan yang meluap-luap. Pasti tak ada yang coba berani mandi di sungai.

"Tapi, tetap hati-hati mandinya ya, Dik!" pungkas saya dari bibir sungai Oyo. Sayonara Selopamioro!

Simbok perkasa yang ramah melempar senyum.

Bebatuan yang tepian Sungai Oyo. Hitam legam menawan.

Perumahan warga di kaki tebing.

Membentang di atas Sungai Oyo

Jembatan yang menjadi solusi akses transoprtasi warga Sriharjo.

Komentar

Postingan Populer